efek

Jumat, 03 Mei 2013

TATA CARA WUDHU DENGAN GAYUNG

TATA CARA WUDHU

POSISI TANGAN SAAT I'TIDAL

 POSISI TANGAN SAAT I'TIDAL

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim)

Dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi. Perselisihan ini terjadi karena tidak didapatkan nash yang secara tegas menyebutkan letak posisi kedua tangan dalam keadaan tersebut. Ada dua pendapat yang dipegangi oleh para ulama.

1. Pendapat qabdh (sedekap, tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri) sehingga sama dengan posisi tangan saat berdiri sebelum rukuk.

Ulama yag berpegang dengan pendapat ini berdalil antara lain dengan hadits seorang sahabat yang bernama Wa’il ibnu Hujr z yang menerangkan tata cara shalat Nabi n. Wa’il z menyebutkan,
كَانَ إِذَا قَامَ فِي الصَّلاَةِ قَبَضَ عَلَى شِمَالِهِ بِيَمِيْنِهِ
“Sesungguhnya, ketika berdiri dalam shalat, Nabi n memegang lengan kirinya dengan lengan kanannya (bersedekap).” (HR. al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra 28/2, ath-Thabarani dalam al-Kabir 1/9/22, dan dinyatakan sahih dalam ash-Shahihah no. 2247)
Menurut pendapat pertama ini, bersedekap di saat berdiri bersifat umum, baik sebelum rukuk maupun setelahnya.
Al-Imam Samahatusy Syaikh Ibnu Baz t menerangkan, pendapat yang menyatakan sedekap berdalil dengan hadits dalam Shahih Bukhari, Kitabul Adzan, bab “Wadh’ul Yumna ‘alal Yusra” (Peletakan tangan kanan di atas tangan kiri) dari hadits Sahl ibnu Sa’d z, ia berkata,
كَانَ النَّاسُ يُؤْمَرُوْنَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ الْيَدَ الْيُمْنَى عَلَى ذِرَاعِهِ الْيُسْرَى فِي الصَّلاَةِ
“Adalah manusia diperintah agar orang yang sedang shalat meletakkan tangan kanannya di atas lengan kiri bagian bawah.” (HR. al-Bukhari no. 740)
Sisi pendalilan hadits di atas adalah disyariatkan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri saat seseorang berdiri dalam shalatnya, baik sebelum maupun setelah rukuk.
Mengapa demikian? Karena dimaklumi, saat rukuk kedua tangan diletakkan di atas kedua lutut. Ketika sujud, kedua tangan diletakkan di atas tanah, sejajar dengan kedua pundak atau kedua telinga. Saat duduk di antara dua sujud dan duduk tasyahhud, kedua tangan diletakkan di atas kedua paha dan dua lutut, sesuai dengan perincian yang diterangkan dalam as-Sunnah.
Masalah yang tersisa sekarang hanyalah saat berdiri, di manakah tangan diletakkan? Berdasar hadits di atas, maka tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri (bersedekap), sama saja baik saat berdiri sebelum rukuk maupun setelah bangkit dari rukuk karena tidak ada dalil yang tsabit (sahih) dari Nabi n yang membedakan dua berdiri ini.
Dalam hadits Wa’il z yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i dengan sanad yang sahih disebutkan, saat berdiri shalat, Nabi n memegang dengan tangan kanannya di atas tangan kirinya.
Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa Nabi n meletakkan tangan kanannya di atas punggung telapak tangan kiri, pergelangan, dan lengan bawah.
Tidak ada penyebutan yang membedakan letak posisi tangan ketika berdiri sebelum dan setelah rukuk. Dengan demikian, hadits ini mencakup kedua berdiri yang ada di dalam shalat. (Majmu’ Fatawa wa Maqalat al-Mutanawwi’ah, 11/131—133)

2. Irsal (kedua tangan dilepas di samping badan, tidak disedekapkan).

Alasannya, tidak ada dalil dari as-Sunnah yang jelas menunjukkan qabdh ketika berdiri i’tidal.
Adapun hadits Wail z yang dijadikan sebagai dalil qabdh, sama sekali tidak menunjukkan qabdh yang dikehendaki (yaitu qabdh setelah rukuk), karena qabdh yang ada dalam hadits Wail adalah sebelum rukuk. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh dua jalur hadits berikut ini.
a. Dari Abdul Jabbar ibnu Wail, dari Wail, dari Alqamah ibnu Wail dan maula mereka, keduanya menyampaikan dari Wail ibnu Hujr z,
أَنّهُ رَأَى النَّبِيَّ n رَفَعَ يَدَيْهِ حِيْنَ دَخَلَ فِي الصَّلاَةِ، كَبَّرَ –وَصَفَ هَمَّامٌ– حِيَالَ أُذُنَيْهِ. ثُمَّ الْتَحَفَ بِثَوْبِهِ، ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى، فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ، أَخْرَجَ يَدَيْهِ مِنَ الثَّوْبِ ثُمَّ رَفَعَهَا، ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ. فَلَمَّا قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ؛ رَفَعَ يَدَيْهِ، فَلَمَّا سَجَدَ سَجَدَ بَيْنَ كَفَّيْهِ.
“Ia pernah melihat Nabi n mengangkat kedua tangannya setinggi kedua telinganya— sebagaimana disifatkan oleh perawi bernama Hammam—ketika masuk dalam shalat seraya bertakbir. Kemudian beliau berselimut dengan pakaiannya (memasukkan kedua lengannya ke dalam baju), lalu meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya. Tatkala hendak rukuk, beliau mengeluarkan kedua tangannya dari pakaiannya kemudian mengangkat keduanya lalu bertakbir dan rukuk. Ketika mengucapkan, ‘Sami’allahu liman hamidah (Allah mendengar orang yang memuji-Nya)’, beliau mengangkat kedua tangannya. Di saat sujud, beliau sujud di antara dua telapak tangannya.” (HR. Muslim no. 894)
b. Dari Ashim ibnu Kulaib, dari ayahnya, dari Wail ibnu Hujr z, ia berkata,
لَأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلاَةِ رَسُوْلِ اللهِ n كَيْفَ يُصَلِّي؟ قَالَ: فَقَامَ رَسُوْلُ اللهِ n فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ فَكَبَّرَ فَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى حَاذَتَا أُذُنَيْهِ، ثُمَّ أَخَذَ شِمَالَهُ بِيَمِيْنِهِ، فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ رَفَعَهَا مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ وَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيهِ، فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ رَفَعَهُمَا مِثْلَ ذلِكَ. فَلَمَّا سَجَدَ وَضَعَ رَأْسَهُ بِذَلِكَ الْمَنْزِلِ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ ثُمَّ جَلَسَ، فَفَتَرشَ رِجْلَهُ الْيُسْرى… وَأَشَارَ بِالسَّبَابَةِ… الْحَدِيثَ
Aku sungguh-sungguh akan memerhatikan shalat Rasulullah n, bagaimana tata cara beliau shalat. Wail berkata, “Bangkitlah Rasulullah, menghadap kiblat lalu bertakbir, kemudian mengangkat kedua tangannya hingga bersisian dengan kedua telinganya. Setelah itu beliau memegang tangan kiri beliau dengan tangan kanan. Di saat hendak rukuk, beliau mengangkat kedua tangannya seperti tadi lalu meletakkan keduanya di atas kedua lututnya. Ketika mengangkat kepalanya dari rukuk, beliau juga mengangkat kedua tangan seperti yang sebelumnya. Ketika sujud, beliau meletakkan kepalanya di antara kedua tangannya. Kemudian duduk dengan membentangkan kaki kirinya… dan memberi isyarat dengan jari telunjuk….” (HR. Abu Dawud no. 726, an-Nasa’i no. 889, dan selain keduanya dengan sanad yang sahih, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Abi Dawud no. 716—717).
Dalam riwayat Ibnu Majah (no. 810) disebutkan ada ucapan Wail z:
رَأَيْتُ النَّبِيَّ n يُصَلِّي فَأَخَذَ شِمَالَهِ بِيَمِيْنِهِ
“Aku pernah melihat Nabi n shalat, beliau memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya.”
Dari hadits di atas dipahami bahwa bersedekap itu dilakukan pada berdiri yang awal, sebelum berdiri saat bangkit dari rukuk. Seandainya ada bersedekap saat bangkit dari rukuk, niscaya Wail tidak akan luput dalam menyebutkannya. Yang memperkuat hal ini adalah riwayat Ibnu Idris dari Ashim secara ringkas dengan lafadz:
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ n حِيْنَ كَبَّرَ أَخَذَ شِمَالَهِ بِيَمِيْنِهِ
“Aku pernah melihat Rasulullah n setelah bertakbir memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya
Tidak seorang pun sahabat yang meriwayatkan hadits tentang tata cara shalat Nabi n yang secara terang-terangan menyebutkan adanya sedekap setelah rukuk1.
Tidak ada satu nash pun yang menunjukkan Rasulullah n melakukan sedekap setelah bangkit dari rukuk tersebut. Seandainya beliau melakukannya, niscaya akan dinukilkan kepada kita. Sementara itu, seperti kata Ibnu Taimiyah t, “Sungguh semangat dan keinginan kuat terkumpul pada sahabat untuk menukilkan semisal masalah ini. Apabila ternyata tidak ada penukilannya, berarti hal itu merupakan dalil bahwa perbuatan tersebut tidak pernah terjadi. Seandainya terjadi, niscaya akan diriwayatkan.” (Risalah Masyru’iyatul Qabdh fil Qiyam al-Ladzi Qabla ar-Ruku’ Dunal Ladzi Ba’dahu, al-Imam Allamatul Muhaddits al-Albani t2).
Al-Imam al-Allamah al-Muhaddits al-Albani t berkata, “Hadits yang dikenal dengan hadits al-Musi’u shalatahu:
ثُمَّ ارْفَعْ رَأْسَكَ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا، (فَيَأْخُذَ كُلُّ عِظَامٍ مَأْخَذَهُ)
وَفِي رِوَايَةٍ: وَإِذَا رَفَعْتَ فَأَقِمْ صَلْبَكَ، وَارْفَعْ رَأْسَكَ حَتَّى تَرْجِعَ الْعِظَامُ إِلَى مَفَاصِلِهَا
“Kemudian angkatlah kepalamu (dari rukuk) sampai engkau berdiri lurus [hingga setiap tulang mengambil posisinya].”
Dalam satu riwayat, “Apabila engkau bangkit, tegakkanlah tulang sulbimu, angkatlah kepalamu hingga tulang-tulang kembali ke persendiannya.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari t dari Abu Hurairah z dalam Shahihnya no. 793. Adapun tambahan dalam tanda kurung dan riwayat setelahnya adalah dari hadits Rifa’ah ibnu Rafi’ z yang diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad t dalam Musnadnya.
Yang dimaksud dengan ‘izham (tulang) di sini adalah tulang yang berangkai di punggung (tulang belakang)….”
Beliau t menyatakan, “Sebagian saudara kami dari kalangan ulama Hijaz dan lainnya berdalil dengan hadits ini untuk menyatakan disyariatkannya meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri (bersedekap) saat berdiri dari rukuk. Namun, pendalilan mereka tersebut amat jauh karena sedekap yang dimaksudkan tidak disebutkan dalam hadits yang dijadikan sebagai dalil. Apabila yang jadi sandaran adalah kalimat ‘hingga tulang kembali kepada persendiannya’, yang dimaksud ‘izham di situ adalah tulang belakang. Yang menguatkan hal ini adalah riwayat tentang perbuatan Rasulullah n,
وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى، حَتَّى يَعُوْدَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ.
“Saat mengangkat kepalanya (dari rukuk), beliau berdiri lurus hingga setiap faqar kembali ke tempatnya.” (HR. al-Bukhari no. 828) (al-Ashl, 2/700)
Faqar adalah rangkaian tulang punggung, mulai bagian paling atas di dekat leher sampai tulang ekor, sebagaimana disebutkan dalam al-Qamus.
Adapun yang dinukilkan dari al-Imam Ahmad t sebagaimana dinukil putranya, Shalih ibnul Ahmad, dalam Masail-nya hlm. 90, “Jika ia mau, ia melepas kedua tangannya ketika bangkit dari rukuk. Jika mau pula, ia bisa meletakkan keduanya,” adalah ijtihad beliau, bukan dari hadits yang marfu’ dari Nabi n.
Pendapat irsal ini lebih menenangkan hati kami (penulis). Wallahu ta’ala a’lam wal ‘ilmu ‘indallah.
Tidak Pantas Menjadi Sebab Pertikaian
Al-Imam Samahatusy Syaikh Ibnu Baz t menyatakan, masalah sedekap sebelum atau setelah rukuk adalah perkara sunnah dalam shalat, bukan wajib. Dengan demikian, apabila ada orang yang shalat tidak bersedekap sebelum atau setelah rukuk, shalatnya tetap sah. Hanya saja dia telah meninggalkan perkara yang afdal dalam shalat3. Oleh karena itu, seorang muslim tidak pantas menjadikan perbedaan dalam masalah yang seperti ini sebagai sebab pertikaian, boikot, dan perpecahan. Bahkan, meskipun amalan tersebut dianggap wajib, sebagaimana pendapat yang dipilih oleh asy-Syaukani t dalam kitabnya, Nailul Authar.
Yang wajib dilakukan oleh seluruh kaum muslimin adalah mencurahkan seluruh upaya untuk tolong-menolong di atas kebaikan dan ketakwaan, menerangkan al-haq dengan dalil, disertai semangat untuk membersihkan hati serta menyelamatkannya dari rasa dengki dan hasad terhadap sesama. Di samping itu, kaum muslimin juga wajib menjauhi sebab perpecahan dan saling boikot karena Allah l mewajibkan semuanya untuk berpegang dengan tali-Nya dan tidak berpecah belah.
“Berpeganglah kalian semua dengan tali Allah dan janganlah berpecah belah.” (Ali Imran: 103)
Nabi n bersabda,
إِنَّ اللهَ يَرْضى لَكُمْ ثَلاَثًا وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلاَثًا: فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوْهُ وَلاَ تُشْركِوُاْ بِهِ شَيْئًا، وَأَنْ تَعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا…
“Sesungguhnya Allah ridha untuk kalian tiga hal dan membenci dari kalian tiga hal pula. Dia ridha untuk kalian agar kalian beribadah dan tidak menyekutukan-Nya sedikit pun, kalian berpegang dengan tali Allah semuanya, dan tidak berpecah belah….” (HR. Muslim no. 4456)
Ada beberapa kejadian di kalangan sebagian kaum muslimin—misalnya di Afrika—yang sampai bermusuhan serta saling mendiamkan karena masalah sedekap dan irsal ini. Peristiwa seperti ini jelas merupakan kemungkaran yang tidak boleh sampai terjadi. Yang semestinya, mereka saling menasihati dan berusaha saling memahami dalam mengetahui al-haq beserta dalilnya, dalam keadaan tetap menjaga rasa cinta, kasih sayang, dan ukhuwah imaniah di antara mereka.
Dahulu, para sahabat Rasulullah n dan ulama setelah mereka juga pernah berselisih dalam masalah-masalah furu’ (bukan masalah prinsip, seperti masalah akidah). Namun, perbedaan tersebut tidak menyebabkan mereka berpecah belah dan saling boikot karena tujuan mereka adalah ingin sampai kepada al-haq dengan dalilnya. Ketika al-haq itu tampak dan jelas bagi mereka, mereka pun bersepakat di atasnya. Ketika al-haq itu tersembunyi bagi sebagian mereka, pihak yang satu tidak sampai menganggap saudaranya sesat sehingga tidak menyebabkannya memboikot saudaranya, memutus hubungan dengannya, dan tidak mau shalat di belakangnya.
Oleh karena itu, kaum muslimin wajib bertakwa kepada Allah l dan berjalan di atas jalan salaf yang saleh dalam berpegang dengan al-haq, menjaga ukhuwah imaniah, dan tidak saling memutus hubungan serta saling boikot karena masalah furu’ yang terkadang tersembunyi dalilnya bagi sebagian orang sehingga ijtihad yang dilakukannya membawanya menyelisihi saudaranya dalam masalah hukum. (Majmu’ Fatawa wa Maqalat al-Mutanawwi’ah, 11/141—143)
Guru kami yang mulia, al-Imam al-Muhaddits asy-Syaikh Muqbil ibnu Hadi al-Wadi’i t, pernah ditanya tentang pendapat yang kuat terkait dengan peletakan kedua tangan pada saat berdiri i’tidal.
Beliau t menjawab, “Dalam masalah ini urusannya mudah karena tidak ada dalil yang sahih lagi sharih (jelas) yang menunjukkan irsal dan yang menunjukkan sedekap. Oleh karena itu, kita tidak bisa mengatakan yang ini bid’ah dan tidak bisa pula mengatakan yang itu sunnah. Akan tetapi, ini adalah masalah ijtihad. Siapa yang meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya, lalu meletakkannya di atas dadanya setelah bangkit dari rukuk berarti ia telah mengambil keumuman dalil yang ada. Adapun yang melepas kedua tangannya (irsal) berarti ia juga telah mengambil dalil hadits yang disebutkan dalam Shahih Muslim yang kesimpulan maknanya menunjukkan Nabi n meletakkan tangan beliau yang kanan di atas tangan kiri beliau, tanpa ada penyebutan di atas dada. Kemudian dinyatakan, tatkala ingin rukuk, beliau melepas kedua tangan beliau dan tidak ada penyebutan beliau mengembalikan kedua tangan (ke posisi sedekap) setelah rukuk. Hadits yang lain dalam Musnad Ahmad menyebutkan bahwa Nabi n berkata tentang rukuk, ‘hingga setiap anggota kembali kepada persendiannya’, atau ucapan yang semakna dengan ini.
Adapun saya sendiri memilih posisi irsal, melepas kedua tangan setelah rukuk tanpa menganggap posisi sedekap sebagai bid’ah dan tidak mengingkari orang yang mengamalkannya. Dalam masalah ijtihad yang di dalamnya tidak ada dalil, urusannya mudah. Wallahul musta’an.” (Ijabatus Sa’il ala Ahammil Masa’il, hlm. 500)

Kamis, 02 Mei 2013

MENGGERAKKAN JARI SAAT TASYAHUD

Shahihnya Hadits Menggerakkan Jari Telunjuk Ketika Tasyahud

Sahabat Waa-il bin Hujr radhiyallaHu ‘anHu berkata,

Sungguh aku akan melihat kepada Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bagaimana beliau shalat, maka aku pun melihat ketika berdiri, beliau pun bertakbir … kemudian beliau duduk iftirasy di atas paha kirinya dan menjadikan tangannya yang kiri di atas paha dan lututnya yang kiri pula, dan meletakan ujung siku tangan kanannya di atas pahanya dan beliau pun membuat lingkaran (dengan jari tengah dan ibu jarinya) dan beliau pun mengangkat jari (telunjuknya), maka aku pun melihat beliau mengerak – gerakannya sambil berdoa dengannya …”

Hadits tersebut diriwayatkan oleh :

  1. Ahmad dalam Kitab al Musnad IV/318 dan telah meriwayatkan dari jalannya al Khathib al Baghdadi dalam Kitab al Fashlu lil Washlil Mudraj I/444.

  1. al Bukhari dalam Kitab Qurratul ‘Ainain bi Raf’il Yadain Fish Shalah hal. 27 no. 30 secara ringkas dan telah meriwayatkan dari jalannya al Khathib al Baghdadi dalam Kitab al Fashlu lil Washlil Mudraj I/445.

  1. Abu Dawud dalam Kitab as Sunan I/178 no. 727, Bab Raf’ul yadain fish shalah.

  1. an Nasai dalam Kitab as Sunan I/463 no. 888, Bab Maudhi’ul yamin minasy syimali fish shalah. Begitu pula dalam Kitab Sunanul Kubra I/256 no. 873.

  1. Ibnu Hibban dalam Kitab ash Shahih, sebagaimana tercantum dalam kitab al Ihsan V/170-171 no. 1860.

  1. Ibnu Khuzaimah dalam Kitab as Shahih I/234 no. 480 Bab Wadh’u bathni kaffil yusra rusghi was sa’id jamii’an.

  1. ad Darimi dalam Kitab as Sunan I/230 no. 1357.

  1. al Baihaqi dalam Kitab Sunanul Kubra II/189 no. 2787 Bab Man rawa annahu asyara biha wa lam yuharrik.

  1. ath Thabrani dalam Kitab al Mu’jamul Kabir XXII no. 82 pada hadits Kulaib bin Syihab Abu ‘Ashim al Jarami dari Waa-il bin Hujr.

  1. Ibnu Jarud dalam Kitab al Muntaqa no. 208 Bab Shifat shalatin Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam.

Semuanya telah meriwayatkan hadits ini dari satu jalan, yaitu dari jalan Zaa-idah bin Qudamah, dari Ashim bin Kulaib, dari ayahnya (Abu Ashim), dari Waa-il bin Hujr.

[Hadits ini memiliki sebuah syahid (pendukung), dari Umar bin al Khaththab radhiyallaHu ‘anHu, ia berkata,

Aku melihat Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam berdoa seperti ini dan Syuraih pun membentangkan telapak tangannya yang kiri dan ia berkata, ‘Dengan menggerakkan jari telunjuknya yang kanan’” (HR. Ibnu Adi dalam Kitab al Kaamil fidh Dhu’afa VI/267)

Ibnu Adi meriwayatkannya dari Ahmad bin Ja’far al Balkhi, dari Muhammad bin Umar al Bazzar, dari Syuraih bin an Nu’man dari Utsman bin Miqsam, dari ‘Alqamah bin Marsyad dari Zir bin Hubaisy dari Sa’id bin Abdurrahman dari ayahnya dari Umar bin al Khaththab.

Imam Ibnu Adi berkata tentang perawinya yang bernama Utsman bin Miqsam, “ …dan kesimpulannya (ia seorang perawi) yang lemah, akan tetapi bersamaan dengan kelemahan yang ada padanya, haditsnya boleh ditulis”, hal ini juga dikemukakan oleh Syaikh al Albani dalam Sifat Shalat Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam hal. 158-159.]

Hadits Waa-il bin Hujr di atas telah disahkan oleh banyak ulama, diantaranya :

  1. Imam Ibnu Khuzaimah, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh al Albani dalam Sifat Shalat Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam hal. 158.

  1. Imam Ibnu Hibban, juga sebagaimana disebutkan oleh Syaikh al Albani dalam Sifat Shalat Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam hal. 158.

  1. Imam an Nawawi dalam Kitab Majmu’ Syarhil Muhadzdzab III/454.

  1. Imam Ibnu ‘Abdil Bar telah mengisyaratkan tentang sahnya hadits ini dalam Kitabnya al Istidzkaar IV/262.

  1. Sebagaimana juga Imam al Qurthubi telah menukil pen-shahih-an Ibnu Abdil Bar di atas dalam Tafsir-nya, ketika menafsirkan surat al Baqarah ayat 43.

  1. Ibnul Mullaqqin dalam Khulashatu Badril Munir I/139 no. 646.

  1. al Hafizh al Baihaqi telah menshahihkan, sebagaimana yang dikatakan oleh al Khaththib asy Syarbini dalam Kitab Mughnil Muhtaj I/255

  1. Syaikhul Islam Ibnul Qayyim dalam Kitab Zaadul Ma’ad (I/239)

  1. Syaikh al Albani telah menshahihkannya dalam banyak kitabnya, diantaranya : Shifat Shalat Nabi hal. 158, Tamamul Minnah hal. 214, Shahih Sunan Abi Dawud no. 717, Shahih Sunan an Nasai dan Irwaa-ul Ghalil no. 352.
Sebagian besar ulama yang mendhaifkan hadits tersebut berpendapat bahwa tambahan lafazh ‘yuharrikuHaa bad’uubiHaa’ yaitu lafazh “tahrik” dari seorang perawi hadits Waa-il bin Hujr yaitu Zaa-idah bin Qudamah adalah syadz, karena menyelisihi lafazh “isyarat” dari perawi hadits yang lebih tsiqah.

Yang dimaksud hadits menggunakan lafazh isyarat adalah,

Aku melirik Nabi mengangkat kedua tangannya dalam shalat ketika takbir … dan meletakkan tangan kirinya di atas lutut kirinya dan lengan tangan kanan di atas paha tangan kanannya, lalu berisyarat dengan jari telunjuknya …” (HR. Ahmad IV/317, ath Thabrani 22/34/81 dan lainnya)

Mari kita lihat bantahan ilmiah dari para ulama yang mengatakan bahwa hadits Waa-il bin Hujr adalah sah berikut ini,

Syaikh al Albani berkata dalam mukadimah kitab beliau Tamamul Minnah tentang hadits syadz,

Hadits syadz adalah (hadits) yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah yang diterima (periwayatannya, akan tetapi) periwayatannya menyelisihi periwayatan perawi yang lebih utama darinya, sebagaimana yang dipegang oleh para ahlul hadits, dan Ibnu ash Shalah pun telah menerangkan hal itu.

Apabila seorang perawi menyendiri dalam suatu periwayatan, maka harus diperiksa, dan jika perawi yang menyendiri tersebut menyelisihi periwayatan perawi yang lebih utama darinya dari segi hafalan atau pun kedhabitannya maka apa yang diriwayatkannya itu syadz dan tertolak.

Namun apabila dalam (tambahan periwayatannya itu) tidak ada perselisihan dengan apa yang diriwayatkan oleh yang lain, hanya saja ia meriwayatkan sesuatu yang tidak diriwayatkan oleh yang lainnya, maka diperiksa keadaan perawi yang menyendiri ini, jika ia adalah seorang perawi yang adil, hafizh, terpercaya dalam kekokohan serta kedhabitannya maka diterima apa yang ia riwayatkan secara menyendiri tersebut

Setelah mengetahui definisi tentang hadits syadz di atas maka yang pertama harus dilakukan adalah memeriksa kondisi perawi hadits tersebut yang diperselisihkan oleh para ulama, dalam hal ini adalah Zaa-idah bin Qudamah. Berikut keterangan dua Imam hadits tentang Zaa-idah bin Qudamah,

  1. al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani dalam Taqribut Tahzib no. 1046 berkata, “(Zaa-idah bin Qudamah ini) tsiqatun tsabtun (yakni seorang perawi yang tsiqah lagi tsabit/kuat)”

  1. Imam Ibnu Hibban berkata dalam Kitab ats Tsiqat VI/239-240, “Ia (Zaa-idah bin Qudamah) termasuk dari imam yang mutqin, ia tidak menganggap suatu pendengaran, kecuali setelah mengulanginya sebanyak tiga kali dan ia tidak dan ia tidak memuji seorang pun kecuali mereka yang telah disaksikan keadilannya oleh seseorang (imam) dari Ahlus (Sunnah)”

Berkata Syaikh al Albani, “Oleh karena itu tidak mudah bagi kita untuk menganggap syadz riwayat yang disampaikan oleh Zaa-idah (bin Qudamah) ini, khususnya periwayatan yang ia terima dari gurunya ‘Ashim bin Kulaib dari bapaknya…

karena apabila kita menganggap syadz, maka niscaya akan banyak sekali riwayat – riwayat yang harus dihukumi seperti itu” (Dinukil dari kaset Imam al Albani yang berjudul Laa Qusyura fil Islam no. 167/8037 al Istiqamah)

Demikianlah pendapat para Imam hadits tentang Zaa-idah bin Qudamah, yang artinya adalah periwayatan hadits yang dilakukan olehnya dapat diterima.

Sekarang ke permasalahan yang kedua, yaitu apakah periwayatan yang dilakukan oleh Zaa-idah bin Qudamah menyelisihi periwayatan dari para perawi yang lebih tsiqah darinya !?

Jawabnya adalah tidak, sebab lafazh “tahrik” itu tidaklah bertentangan dengan lafazh “isyarat” jika ditinjau dari segi lughah maupun dalil.

Dari segi bahasa dapat difahami bahwa isyarat itu terkadang disertai dengan gerak dan terkadang tanpa disertai dengan gerak (jadi disini yang terjadi bukan pertentangan lafazh, tetapi hanya permasalahan lafazh umum dan lafazh khusus). Syaikh Al ash Sha’idi al ‘Adawi al Maliki dalam Kitab Hasyiyah al ‘Adawi ‘ala Syarbi Kifayatut Thalibur Rabbani I/356 berkata,

Bahwa lafazh isyarat itu lebih umum daripada lafazh tahrik, mungkin berisyarat dengan cara menggerakkan (atau) mungkin tidak”.

Dan apabila ditinjau dari segi dalil, maka ada suatu hadits yang menarik untuk dibahas yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallaHu ‘anHa tentang kisah shalatnya para shahabat di belakang Rasulullah dengan cara berdiri, padahal Rasulullah shalat sambil dalam keadaan duduk, maka beliau pun mengisyaratkan kepada mereka untuk duduk semua (HR. al Bukhari dan Muslim)

Setiap orang pasti dapat dengan cepat memahami dari lafazh hadits tersebut bahwasannya isyarat beliau tidak hanya dengan mengangkat tangan saja, akan tetapi isyarat tersebut juga mengandung gerakan untuk menyuruh para sahabat agar shalat dalam keadaan duduk.

Ringkasnya adalah isyarat tidak menafikan atau meniadakan tahrik, maka pernyataan bahwa isyarat itu bertentangan dengan tahrik adalah tidak benar jika ditinjau dari segi lughah dan dalil.

Dan akhirnya di dalam Kitab Tamamul Minnah Syaikh al Albani memberikan kesimpulannya, “Menolak otensitas gerakan telunjuk dalam riwayat terkucil dari Zaid bin Qudamah tanpa perawi – perawi ‘Ashim bin Kulaib yang lain adalah suatu kesalahan besar karena dua alasan, Pertama : Mereka meriwayatkan isyarat dan isyarat tidak bisa menafikan adanya gerakan jari, Kedua : Kejujuran Zaidah (bin Qudamah) dan karena sudah tua, ia sangat teliti dalam meriwayatkan hadits. Para imam sepakat memberikan kesaksian atas dapat dipercayainya dan al Bukhari – Muslim pun berhujjah dengannya”

Maraji’ :
  1. Menggerakan Jari Telunjuk Ketika Tasyahud, Ustadz Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa, Pustaka Abdullah, Jakarta, Cetakan Pertama, Rajab 1425 H/Agustus 2004 M.
  2. Terjemah Tamamul Minnah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabah Salafy Press, Tegal, Cetakan Pertama, Jumadits Tsani 1422 H/September 2001 M.

Rabu, 01 Mei 2013

TATA CARA MANDI JUNUB

Kaifiat Mandi Junub

Para ulama menyebutkan bahwa kaifiat mandi junub ada 2 cara:
1. Cara yang sempurna, yaitu mengerjakan semua rukun, wajib dan sunnah dalam mandi junub.
2. Cara yang mujzi’ (yang mencukupi), yaitu hanya melakukan yang merupakan rukun dalam mandi junub.
(Lihat Al-Mughni: 1/287, Al-Majmu’: 2/209 dan Al-Muhalla: 2/28)

Kaifiat mandi yang mujzi’:
1. Niat.
2. Mencuci  dari kotoran yang menimpa atau najis –kalau ada-.
3. Menyiram kepala sampai ke dasar rambut dan seluruh anggota badan dengan air.
Ada beberapa dalil yang menunjukkan cara ini, diantaranya:
1. Firman Allah Ta’ala, “Dan kalau kalian junub maka bersucilah.” (QS. Al-Maidah: 6)
Imam Ibnu Hazm berkata dalam Al-Muhalla (2/28), “Bagaimanapun caranya dia bersuci (mandi) maka dia telah menunaikan kewajiban yang Allah wajibkan padanya.”
2. Ummu Salamah pernah bertanya kepada Rasulullah -shalllallahu alaihi wasallam-, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya adalah wanita yang mempunyai gulungan rambut yang tebal, apakah saya harus membukanya saat mandi junub?” beliau menjawab, “Tidak perlu, yang wajib atas kamu hanyalah menuangkan air di atas kepalamu sebanyak tiga kali tuangan kemudian kamu menuangkan air ke seluruh tubuhmu. Maka dengan itu kamu telah suci.” (HR. Muslim no. 742 dan selainnya)
3. Hadits Imran bin Hushain yang panjang dalam Ash-Shahihain, dia berkata, “Dan yang terakhir adalah diberikannya satu bejana air kepada yang orang yang terkena janabah lalu beliau (Nabi) bersabda: Pergilah dan tuangkan air itu ke seluruh tubuhmu.” (Lihat Asy-Syarh Al-Mumti’: 1/424).
Kami katakan: Bagi mereka yang kekurangan air atau yang tidak punya banyak waktu untuk mandi -karena harus segera shalat atau selainnya-, maka hendaknya mereka cukup mengerjakan kaifiat ini karena ini adalah ukuran minimal syahnya mandi.
Kaifiat mandi sempurna:
Sifat mandi yang sempurna ada dua cara, disebutkan dalam hadits Aisyah dan Maimunah yang keduanya diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim. Berikut penyebutannya:
A. Cara mandi junub yang pertama:
Aisyah berkata, “Sesungguhnya kebiasaan Nabi -shallallahu alaihi wasallam- kalau beliau mandi junub adalah: Beliau mulai dengan mencuci kedua (telapak) tangannya, kemudian beliau berwudhu (sempurna) seperti wudhu beliau kalau mau shalat. Kemudian beliau mengambil air lalu memasukkan jari-jemarinya ke dasar-dasar rambutnya, sampai tatkala beliau merasa air sudah membasahi semua bagian kulit kepalanya, beliau menyiram kepalanya dengan air sebanyak tiga kali tuangan, kemudian beliau menyiram seluruh bagian tubuh yang lainnya.” (HR. Al-Bukhari no. 248, 272 dan Muslim no. 316)
Kesimpulan cara yang pertama adalah:
1. Mencuci kedua telapak tangan tanpa ada pembatasan jumlah.
2. Berwudhu sempurna, dari mencuci telapak tangan sampai mencuci kaki. Jadi telapak tangannya kembali dicuci, berdasarkan lahiriah hadits.
3. Setelah berwudhu sempurna, beliau mengambil air dengan kedua telapak tangan beliau lalu menyiramkannya ke kepala seraya memasukkan jari jemari beliau ke bagian dalam rambut agar seluruh bagian rambut dan kulit kepala terkena air.
4. Setelah yakin seluruh bagian kulit kepala telah terkena air, beliau menuangkan air ke atas kepalanya sebanyak tiga kali tuangan.
5. Kemudian yang terakhir beliau menyiram seluruh tubuhnya yang belum terkena air.
B. Cara mandi junub yang kedua:
Ini disebutkan dalam hadits Maimunah, istri Nabi -shallallahu alaihi wasallam-. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 259, 265, 266, 274, 276, 281 dan berikut lafazh gabungan seluruh riwayatnya:
Maimunah berkata, “Saya meletakkan air yang akan digunakan oleh Nabi -shallallahu alaihi wasallam- untuk mandi lalu menghijabi beliau dengan kain. Maka beliau menuangkan air ke kedua (telapak) tangannya lalu mencuci keduanya sebanyak dua kali atau tiga kali, kemudian beliau menuangkan air dengan tangan kanannya ke tangan kirinya lalu mencuci kemaluannya dan bagian yang terkena kotoran, kemudian beliau menggosokkan tangannya ke lantai atau ke dinding sebanyak dua kali atau tiga kali. Kemudian beliau berkumur-kumur dan menghirup air ke dalam hidung, kemudian beliau mencuci wajahnya dan kedua lengannya (tangannya sampai siku), kemudian beliau menyiram kepalanya sebanyak tiga kali kemudian menuangkan air ke seluruh tubuhnya. Kemudian beliau bergeser dari tempatnya lalu mencuci kedua kakinya.” Maimunah berkata, “Lalu saya membawakan sepotong kain kepada beliau (sebagai handuk) tapi beliau tidak menghendakinya lalu beliau mengusap air dari badannya dengan tangannya.” (Diriwayatkan juga yang semisalnya oleh Muslim no. 723)
Kesimpulan cara yang kedua:
1. Menuangkan air ke kedua telapak tangannya lalu mencuci keduanya sebanyak dua atau tiga kali.
2. Mengambil air dengan tangan kanannya lalu menuangkannya ke tangan kirinya, lalu beliau mencuci kemaluannya dengan tangan kirinya dan juga mencuci bagian tubuh yang terkena kotoran (madzi atau mani).
3. Menggosokkan tangan kirinya itu ke lantai atau dinding atau tanah untuk membersihkannya, sebanyak dua atau tiga kali.
4. Berkumur-kumur dan menghirup air ke dalam hidung lalu mengeluarkannya.
5. Mencuci wajah lalu mencuci kedua tangan sampai ke siku.
6. Lalu menyiram kepala sebanyak tiga kali siraman.
7. Menyiram seluruh bagian tubuh yang belum terkena air.
8. Bergeser dari tempatnya berdiri lalu mencuci kedua kaki.
Inilah dua kaifiat mandi junub sempurna yang setiap muslim hendaknya mengerjakan keduanya secara bergantian pada waktu yang berbeda, terkadang mandi junub dengan kaifiat Aisyah dan pada kesempatan lain dengan kaifiat Maimunah, wallahu a’lam.
Berikut beberapa permasalahan dalam mandi junub yang tidak tersebut pada kedua hadits di atas:
1. Wajibnya niat dan tempatnya didalam hati.
Karena niat adalah syarat sahnya seluruh ibadah, sebagaimana dalam  hadits Umar bin Al-Khaththab yang masyhur, “Sesungguhnya setiap amalan -syah atau tidaknya- tergantung dengan niatnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1 dan 54 dan Muslim no. 1907)
2. Hukum membaca basmalah.
Tidak disebutkan dalam satu nash pun adanya bacaan basamalah dalam mandi junub, karenanya kami berpendapat tidak adanya bacaan basmalah di awal mandi junub. Kecuali kalau dia membaca bismillah untuk gerakan wudhu yang ada di tengah-tengah kaifiat mandi, maka itu kembalinya kepada hukum membaca basmalah di awal wudhu. Dan telah kami bahas pada beberapa edisi yang telah berlalu bahwa hukumnya adalah sunnah.
3. Diharamkan seorang yang mandi junub untuk menceburkan dirinya ke dalam air yang diam seperti kolam dan sejenisnya. Berdasarkan hadits Abu Hurairah secara marfu, “Janganlah salah seorang di antara kalian mandi di dalam air yang diam sementara dia junub.” (HR. Muslim no. 283)
4. Disunnahkan untuk memulai dengan anggota tubuh bagian kanan. Aisyah berkata, “Kami (istri-istri Nabi) jika salah seorang di antara kami junub, maka dia mengambil air dengan kedua tangannya lalu meletakkannya di atas kepalanya. Salah satu tangannya menuangkan air ke bagian kepalanya yang kanan dan tangannya yang lainnya di atas bagian kepalanya yang kiri. Dia melakukan itu sebanyak tiga kali.” (HR. Al-Bukhari no. 277)
5. Bagi yang mengikat rambutnya, apakah dia wajib melepaskan ikatannya?
Imam Al-Baghawi berkata -tentang hadits Ummu Salamah yang telah berlalu di awal pembahasan- dalam kitab Syarh Sunnah (2/18), “Hadits inilah yang diamalkan di kalangan semua ahli ilmi, bahwasanya membuka kepang rambut tidak wajib pada mandi junub selama air bisa masuk ke dasar rambutnya.”
Kami katakan: Kalau tidak bisa masuk maka wajib membukan ikatan rambutnya.
6. Bolehkah memakai handuk setelah mandi junub?
Wallahu a’lam, lahiriah hadits Maimunah di atas dimana Nabi -shallallahu alaihi wasallam- menolak handuk yang diberikan oleh Maimunah, menunjukkan disunnahkannya untuk tidak membasuh badan dengan kain akan tetapi dengan tangan. Walaupun hukum asalnya adalah boleh membasuh tubuh dengan kain setelah mandi, hanya saja yang kita bicarakan adalah mana yang lebih utama.
7. Setelah mandi junub, seseorang boleh langsung shalat tanpa berwudhu kembali karena mandi junub sudah mencukupi dari wudhu. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah, “Adalah Nabi -shallallahu alaihi wasallam- tidak berwudhu lagi setelah mandi.” (HR. Abu Daud no. 172)
Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughny 1/289, “Mandi (junub) dijadikan sebagai akhir dari larangan untuk shalat, karenanya jika dia telah mandi, maka wajib untuk tidak terlarang dari sholat. Sesungguhnya keduanya yaitu mandi dan wudhu, dua ibadah yang sejenis, maka yang kecil di antara keduanya (wudhu) masuk (terwakili) ke dalam  yang besar sebagaiamana halnya umrah di dalam haji.”
8. Tidak boleh menggabungkan antara mandi junub dengan mandi haid, karena kedua jenis mandi ini telah tegak dalil yang menerangkan wajibnya untuk mengerjakan masing-masing darinya secara tersendiri, karenanya tidak boleh disatukan pada satu mandi. Lihat pembasan masalah ini dalam Tamamul Minnah hal. 126, Al-Muhalla (2/42-47)
Adapun mandi junub dengan mandi jumat, maka boleh digabungkan. Berdasarkan hadits Aisyah secara marfu’, “Barangsiapa yang mandi pada hari jumat maka hendaknya dia mandi dengan cara mandi junub.” (HR. Ahmad)
Para ulama menerangkan bahwa pengamalan hadits di atas bisa dengan dua cara:
a. Apakah dia sengaja membuat dirinya junub yaitu dengan berhubungan dengan istrinya pada hari jumat, agar dia bisa mandi junub pada hari itu.
b. Ataukah dia mandi jumat dengan kaifiat mandi junub, walaupun dia tidak dalam keadaan junub, wallahu a’lam.
9. Dimakruhkan untuk berlebih-lebihan (boros) dalam menggunakan air, baik dalam wudhu maupun dalam mandi junub. Ini berdasarkan dalil umum yang melarang untuk tabdzir (boros) dan berlebih-lebihan dalam segala sesuatu.
10. Cara mandi bersih dari haid/nifas sama dengan mandi junub kecuali dalam dua hal:
a. Disunnahkan setelah mandi untuk menggosok kemaluan dan yang bagian terkena darah dengan kapas atau yang semacamnya yang telah diolesi dengan minyak wangi. Ini untuk membersihkan dan mensucikan dari bau yang kurang sedap.
Hal ini berdasarkan hadits Aisyah secara marfu’, “Salah seorang di antara kalian (wanita haid) mengambil air yang dicampur dengan daun bidara lalu dia bersuci dan memperbaiki bersucinya. Kemudian dia menuangkan air di atas kepalanya seraya menggosoknya dengan gosokan yang kuat sampai air masuk ke akar-akar rambutnya, kemudian dia menyiram seluruh tubuhnya dengan air. Kemudian dia mengambil secarik kain yang telah dibaluri dengan minyak misk lalu dia berbersih darinya.” Aisyah berkata, “Dia mengoleskannya ke bekas-bekas darah.” (HR. Muslim no. 332 dari Aisyah)
b. Disunnahkan mandi dengan air dan daun bidara sebagaimana dalam hadits di atas.
Wallahu a’lam bishshawab

TARJIH HADIST TUDUN SUJUD

Hadits mendahulukan tangan ketika turun sujud

Oleh : Su’ud Hasanudin
Alhamdulillah, sholawat dan salam kepada Rasulullah saw. Dalam kesempatan kali ini kami akan mencoba membahas hadits mendahulukan tangan ketika turun sujud. Kami memandang bahwa ada sedikit permasalahan yang perlu untuk kami jelaskan berkenaan dengan hadits tersebut, sebab secara dhohir hadits tersebut terdapat keterbalikan.
Para ulama hadits juga ada yang mempermasalahkan hadits tersebut, sebagian ada yang memandangnya sebagai hadits maqlub (terdapat keterbalikan) dalam matan (susunan kalimat). Sebagaian lagi memandang bahwa hadits tersebuta adalah benar dan tidak terdapat keterbalikan dalam susunan teksnya. Sebagian lagi memandang bahwa hadits mendahulukan tangan tatkala turun sujud bertentangan dengan hadits yang lain, yang memerintahkan ntuk mendahulukan dua kaki daripada kedua tangan.
Perbedaan tersebut seiring dengan cara pandang yang berbeda, sebagian melihat pada dhohir kalimat, sebagian lagi menggunakan takwil sehingga hadits tersebut tidak terlihat ada keterbalikan (maqlub). Demikian juga dalam masalah idhtirob dalam susunan teks hadits tersebut dengan hadits yang lain.
Dalam kajian ringan ini kali akan berusaha menjelaskan sedikit tentang permasalahan tersebut, dan kami akan sertakan keterangan-keterangan dan akan kami akhiri dengan sebuah kesimpulan ringan. Semoga bermanfaat bagi kami secara pribadi dan pembaca yang budiman.
Teks Hadits mendahulukan tangan ketika sujud.
وروي عن عبد العزيز الدراوردي ، عن محمد بن عبد الله بن حسن ، عن أبي الزناد ، عن الأعرج ، عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إذا سجد أحدكم فلا يبرك كما يبرك البعير ، وليضع يديه قبل ركبتيه {أخرجه البيهقي في معرفة السنن والآثر ورواه أيضا أبو داود والنسائي والترمذي وأحمد والدارمي والدارقطني والبغوي في شرح السنة كلهم من طريق محمد بن عبد الله بن حسن عن أبي الزناد عن الأعرج عن أبي هريرة.}[1]
Artinya : Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah saw bersabada : apabila salah seorang diantara kalian sujud (dalam sholat), maka janganlah kalian turun seperti seperti turunnya onta untuk duduk. Maka hendaklah kalian mendahulukan tangan kedua tangan sebalum kedua kaki.
Imam al Bukhori meriwayatkan hadits tersebut dalam at Tarikh ul Kabir, dan mengatakan dalam sanad hadits tersebut ada ilat (cacat) dari sisi Muhammad bin Abdullah bin al Hasan. Imam at Tirmidzi mengatakan sanad hadits tersebut adalah ghorib. Imam ad Daruquthni berpendapat bahwa Abdul Aziz ad Darowurdi bersendirian dalam meriwayatkan hadits tersebut.
Bisa kita dapatkan teks hadits tersebut dengan beberapa perbedaan kalimatnya. Adapun secara jelasnya teks yang berbeda tersebut adalah sebagai berikut;
1. إذا سجد أحدُكم فَلاَ يَبْرُكْ كما يَبْرُكُ البعيرُ (أحمد ، وأبو داود ، والنسائى ، والبيهقى الدارمى عن أبى هريرة)
2. إذا سجد أحدُكم فَلاَ يَبْرُكْ كما يَبْرُكُ الجملُ (أخرجه البيهقى والدارقطني والنسائى وأحمد عن أبى هريرة)
3. وفي مسند أبي يعلى وابن أبي شيبه عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ، قَالَ : إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِرُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ ، وَلا يَبْرُكْ بُرُوكَ الْفَحْلِ
Perbedaan yang pertama adalah terletak penggantian kata ba’ir dan jamal yang berarti onta, yang dapat kita jumpai dalam hadits lain dengan lafadz fakl yang berarti kuda jantan.
Illat (cacat) dalam sanad hadits
Imam al Bukhori, imam at Tirmidzi dan ad Daruqudni berpendapat ada cacat dalam sanad hadits tersebut. Dalam sanad hadits tersebut ada seorang rowi bernama Muhammad bin Abdullah bin al Hasan.
Imam al Bukhori dalam at Tarikh ul Kabir mengatakan tidak mengetahi apakah Muhammad bin Abdulla bin al Hasan mendengarkan hadits dari Abi az Zinad. Pendapat imam al Bukhori tersebut didasarkan pada salah satu syarat yang ditentukanya dalam menerima hadits bahwa seorang rowi benar-benar bertemu gurunya, dan tidak cukup bahwa seorang rowi satu masa dengan gurunya.
Sedangkan imam at Tirmidzi mengatakan sanad hadits tersebut tergolong ghorib dari sisi Muhammad bin Abdullah bin al Hasan.
Pendapat Imam al Bukhori tentang Muhammad bin Abdullah bin al-Hasan bukanlah merupakan jarkh (celaan), sebab beliau sedikitpun tidak memberikan komentar atas kepribadian Muhammad bin Abdullah bin al Hasan. Beliau hanya menyangsikan kebertemuan antara Muhammad bin Abdullah bin al Hasan dengan gurunya – Abu az Zinad.
Keraguan Imam al Bukhori tersebut dapat ditepis dengan melihat riwayat hidup Muhammad bin Abdullah al Hasan.
Imam an Nasai berependapat bahwa Muhammad bin Abdullah bin al Hasan adalah seorang yang tsiqoh. Abu az Zinad wafat pada tahun 130 H, sedangkan Muhammad bin Abdullah al Hasan wafat pada 145 H, dan pada saat itu beliau berusia 45 tahun, jadi sangat memungkinkan sekali Muhammad bin Abdullah bin al Hasan bertemu dengan Abu az Zinat. Dan yang demikian adalah sesuai dengan syarat yang ditentukan oleh imam MuslimMu’ashoroh- (pernah sezaman).
Imam ad Daroqothni berpendapat bahwa rowi yang bernama Abdul Aziz ad Darowurdi bersendirian dalam meriwayatkan hadits tersebut. Imam Ahmad berpendapat tentang Abdul Aziz ad Darowurdi ” jika ia meriwayatkan dengan hafalanya, ada keraguan. Sedangakan Abu Zur’ah berpendapat bahwa ia adalah orang yang termasuk buruk hafalanya. Namun Yahya Ibn Main dan dan Aly al Madini keduanya berpendapat bahwa Abdul Aziz ad Darowurdi adalah seorang yag tsiqoh.
Oleh karena itu riwayat seorang rowi yang memungkinkan ada kesalahan dalam hafalanya dibutuhkan orang lain meriwayatkan hadits serupa sebagai bukti bahwa tidak ada kesalahan dari hadits yang diriwayatkan oleh orang yang kurang baik hafalannya.
Pendapat akan kesendirian Abdul Aziz ad Darowurdi dalam meriwayatkan hadits ini terbantah. Bahwasanya ada orang lain yang meriwayatkan hadits tersebut selain Abdul Aziz ad Darowurdi. Ia adalah Abdullah bin Nafi’ dalam riwayat an Nasai dan Abu Daud.
Wal hasil, pendapat sebagain ulama seperti Imam al Bukhori tentang adanya ilat dalam sanad hadist tersebut karena keberadaan rowi yang bernama Muhammad bin Abdullah bin al Hasan, yang Imam al Bukhori tidak merasa yakin akan kebertemuanya dengan Abu az Zinad, bukanlah sebuah bentuk jarkh terhadap Muhammad bin Abdullah bin al Hasan. Bahka jika dilihat dari kurun waktu masa hidupnya dan masa hidup Abu az Zinad, telah bisa disimpulkana adanya kemungkinan kuat bahwa Muhammad bin Abdullah bin al Hasan bertemu dengan Abu az Zinat, sedangkan yang demikian – Mu’asharoh- telah memenuhi syarat shohih sebuah Hadits dalam pandangan imam Muslim.
Sedangkan kesendirian Abdul Aziz ad Darowurdi, dalam meriwayatkah hadits tersebut sebagaimana yang dinyatakan oleh ad Daruquthni, dijawab oleh ulama yang lain bahwa ada orang lain yang meriwayatkan selain Abdul Aziz ad Darowurdi yakni Abdullah bin Nafi’. Oleh sebab itu maka hadits tersebut dapat dihukumi sebagai hadits shohih sebagaima pendapat al Bani dalam irwa ul gholil, dan atau hadits hasan dikarenakan selamatnya para rowi dari cacat yang mengakibatkan ke dhoifan hadits. Wallahu a’lam bis showab.
Idhtirob fi al Matn
Sebagian ulama berpendapat bahwa dalam susunan teks hadits tersebut bertentangan dengan hadits lain (ta’arud) yang memerintahkan untuk mendahulukan kedua kaki tatkala turun untuk sujud. Hadits yang dimaksud adalah sebagai berikut;
حدثنا أبو بكر قال نا ابن فضيل عن عبد الله بن سعيد عن جده عن ابي هريرة يرفعه أنه قال إذا سجد أحدكم فليبتدئ بركبتيه قبل يديه ولا يبرك بروك الفحل {أخرجه ابن أبي شيبة في مصنفه}
Artinya : dari Abu Hurairah ra secara marfuk (bersambung) kepada Rasulullah saw. Sesungguhnya beliau bersabda : “jika dalah seorang diantara kalian sujud, hendaklah mendahulukan kedua lutut sebelum kedua tangan. Dan janganlah kalian turun menuju sujud seperti duduknya kuda jantan. (HR. Ibnu Abi Syaibah dari Abu Hurairah ra)
Dalam hadits bersebut ada seorang rowi bernama Abdullah bin Said al Maqburi, ia adalah seorang yang munkarul hadist. Yahya bin Said al Qothon pernah duduk dalam majelisnya, dan beliau berpendapat dari hal tersebut bahwa Abdullah bin Said al Maqburi terlihat kebohonganya. Demikian juga Imam al Bukhori, Ahmad dan ad Daruquthni.
Secara susunan teks hadits ini bertentangan dengan isi hadits sebelumnya yang memerintahkan agar mendahulukan kedua tangan daripada kedua lutut. Oleh karena itu ada yang berpendapat bahwa dalah hadits tersebut terdapat ta’arudz (salang bertentangan), kemudia disimpulkan bahwa hadits mendahulukan kedua tangan ketika sujud adalah muthorib, kerena susunan teksnya bertentangan dengan hadits yang memerintahkan untuk mendahulukan kedua lutut.
Namun untuk menjadikan sebuah hadits diangap sebagai muthorib apabila terdapat dua hal;
  1. adanya pertentangan yang tidak mungkin untuk diambil jalan tengah, dan
  2. kedudukan masing-masing hadits sama-sama memiliki tingkat kekuatan yang sama sehingga tidak menmungkinkan menempuh jalan tarjih.
Namun amat disayangkan pendapat yang demikian dapat disangkal dengan bahwa dalam teks hadits yang memerintahkan untuk lebih mendahulukan kedua lutut tidak memiliki sanad yang bisa dikatagorikan sebagai hadits hasan sekalipun. Oleh karena itu menjadikan hadits mendahulukan kedua tangan sebagai hadits muthorib dengan alasan isinya menentanga hadits perintah lebih mendahulukan kedua lutut adalah kurang tepat. Sebab masih memungkinkan untuk menempuh cara tarjih. Yakni hadits mendahulukan kedua tangan lebih kuat secara sanad dari hadits mendahulukan kedua lutut. Wallahu a’lam bis showab.
Maqlub (keterbalikan) dalam susunan teks hadits.
Cara duduk onta biasanya diawali denga melipat dua kali depannya kemudian diiringi dengan melipat dua kali belakangnya.
Dua kaki yang depan onta ditempatkan sebagia dua tangan manusia (tatkala turun sujud) sedangkan dua kaki belakang menempati kedudukan dua kaki manusia.
Dari hal tersebut terlihat bahwa dalam teks hadits tersebut ada keterbalikan dengan fakta. Perintah yang pertama adalah agar tidak menyamai duduknya onta dengan mendahulukan tangan (dua kaki belakang pada onta) dari pada kaki (dua kaki belakang pada onta). Sedangkan perintah ke dua adalah hendaklan mendahulukan tangan dari pada kaki.
Ibnu ul Qayyim, berpendapat bahwa dalam teks hadits tersebut terdapat keterbalikan susunan dari rowi (orang yang meriwayatkan hadits). Seharusnya teks tersebuta adalah sebagai berikut :
فَلَا يَبْرُكُ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ وَلْيَضَعْ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ
Artinya : “Maka janganlah kalian turun dalam sujud seperti duduknya onta, maka hendaklah mendahulukan meletakan kedua kakinya sebelum kedua tanganya”.
Ibnu ul Qoyim berpendapat bahwa yang menjadi patokan dalam teks hadits ini adalah teks yang dimuka (jangan menyamai onta dalam turun sujud). Onta dalam turun untuk duduknya mendahulukan dua kaki depan daripada dua kaki belakangnya. Sedang dua kaki depan onta diibaratkan dengan dua tangan manusia, sedang dua kaki belakang onta diibaratkan dengan dua kaki manusia. Maka terkesan jelas ada keterbalikan dalam teks hadits mendahulukan dua tangan dari pada dua kaki dalam sujud tersebut. Menurut Ibnu ul Qoyyim seharusnya mendahulukan dua kaki dari pada dua tangan sebab duduknya onta lebih didahului dengan kedua kaki belakangnya.
Dalam hal ini Imam At Thokhawi berbeda pendapat dengan Ibnu ul Qoyyim. Beliau berpendapat bahwa menyamakan dua kaki depan onta dengan dua tangan manusia adalah satu kesalahan. Sebab antara tangan dan kaki semua jenis hewan dan manusia tidak bisa disamakan. Imam At Thokhawi selanjutnya mengatakan bahwa dua kaki belang yang dimiliki oleh hewan adalah seperti dua tangan pada manusia. Oleh sebab itu menurut Imam At Thokhawi bahwa dalam hadits turun sujud tersebut tidak ada keterbalikan sebagaimana pendapat Ibnu ul Qoyyim.
Nasakh
Ibnu Hajar al Asqolani berkata: bahwa Ibnu Khuzaimah menganggap hadits Abu Hurairah yang mendahulukan kedua tangan adalah mansuh dengan hadist dari Mus’ab bin Sa’ad, sebagaimana berikut;
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ بْنِ يَحْيَى بْنِ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ حَدَّثَنَا أَبِى عَنْ أَبِيهِ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ سَعْدٍ قَالَ : كُنَّا نَضَعُ الْيَدَيْنِ قَبْلَ الرُّكْبَتَيْنِ ، فَأُمِرْنَا بِالرُّكْبَتَيْنِ قَبْلَ الْيَدَيْنِ {رواه ابن خزيمة في صحيحه والبيهقي}
Artinya : dari Mus’ab bin Sa’ad, dari Sa’ad. Ia berkata : kami dahulunya meletakan tangan sebelum lutut (dalam sujud), kemudian kami diperintahkan untuk mendahulukan kedua lutut daripada kedua tangan. (HR. Ibnu Khuzaimah dan al Baihaqi).
Kalaulah hadits diatas shohih maka akan menjadi bukti kuat akabn adanya mansuh terhadap riwayat sebelumnya. Namun sangat disayangkan hadits diatas tidak selamat dari kelemahan dari rowi yang meriwayatkan hadits. Dalam sanad tersebut ada dua rowi yang para ulama melemahkannya. Dua rowi tersebut adalah Ibrahim bin Ismail bin Yahya bin Salamah bin Kuhail, dan bapaknya -Ismail bin Yahya bin Salamah bin Kuhail-.Dua orang tersebut adalah dhoif.
Kesimpulan;
  1. Hadits mendahulukan ketika turun sujud adalah hadits ghorib (ahad).
  2. Para ulama berbeda pendapat tentang hadits tersebut.
  3. Para ulama ahli fiqh berbeda pendapat dalam masalah mendahulukan tangan ketika turun untuk sujud.
  4. Madzhab Maliki dan al Auzai, demikian pula Ibn Hazm berpegang mendahulukan tangan ketika sujud.
  5. Sedangkan madzhab iman Abu Hanifah, at Tsauri, Ibn Sirin , as Syafii, Ahmad, Ishaq ibn Rohawaih, memilih lebih mendahulukan lutut, dan imam Ahmad dalam sebuah riwayat cara turun sujut tersebut adalah mukhoyar. (umdah)
والله أعلم بالصواب