efek

Kamis, 02 Mei 2013

MENGGERAKKAN JARI SAAT TASYAHUD

Shahihnya Hadits Menggerakkan Jari Telunjuk Ketika Tasyahud

Sahabat Waa-il bin Hujr radhiyallaHu ‘anHu berkata,

Sungguh aku akan melihat kepada Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bagaimana beliau shalat, maka aku pun melihat ketika berdiri, beliau pun bertakbir … kemudian beliau duduk iftirasy di atas paha kirinya dan menjadikan tangannya yang kiri di atas paha dan lututnya yang kiri pula, dan meletakan ujung siku tangan kanannya di atas pahanya dan beliau pun membuat lingkaran (dengan jari tengah dan ibu jarinya) dan beliau pun mengangkat jari (telunjuknya), maka aku pun melihat beliau mengerak – gerakannya sambil berdoa dengannya …”

Hadits tersebut diriwayatkan oleh :

  1. Ahmad dalam Kitab al Musnad IV/318 dan telah meriwayatkan dari jalannya al Khathib al Baghdadi dalam Kitab al Fashlu lil Washlil Mudraj I/444.

  1. al Bukhari dalam Kitab Qurratul ‘Ainain bi Raf’il Yadain Fish Shalah hal. 27 no. 30 secara ringkas dan telah meriwayatkan dari jalannya al Khathib al Baghdadi dalam Kitab al Fashlu lil Washlil Mudraj I/445.

  1. Abu Dawud dalam Kitab as Sunan I/178 no. 727, Bab Raf’ul yadain fish shalah.

  1. an Nasai dalam Kitab as Sunan I/463 no. 888, Bab Maudhi’ul yamin minasy syimali fish shalah. Begitu pula dalam Kitab Sunanul Kubra I/256 no. 873.

  1. Ibnu Hibban dalam Kitab ash Shahih, sebagaimana tercantum dalam kitab al Ihsan V/170-171 no. 1860.

  1. Ibnu Khuzaimah dalam Kitab as Shahih I/234 no. 480 Bab Wadh’u bathni kaffil yusra rusghi was sa’id jamii’an.

  1. ad Darimi dalam Kitab as Sunan I/230 no. 1357.

  1. al Baihaqi dalam Kitab Sunanul Kubra II/189 no. 2787 Bab Man rawa annahu asyara biha wa lam yuharrik.

  1. ath Thabrani dalam Kitab al Mu’jamul Kabir XXII no. 82 pada hadits Kulaib bin Syihab Abu ‘Ashim al Jarami dari Waa-il bin Hujr.

  1. Ibnu Jarud dalam Kitab al Muntaqa no. 208 Bab Shifat shalatin Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam.

Semuanya telah meriwayatkan hadits ini dari satu jalan, yaitu dari jalan Zaa-idah bin Qudamah, dari Ashim bin Kulaib, dari ayahnya (Abu Ashim), dari Waa-il bin Hujr.

[Hadits ini memiliki sebuah syahid (pendukung), dari Umar bin al Khaththab radhiyallaHu ‘anHu, ia berkata,

Aku melihat Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam berdoa seperti ini dan Syuraih pun membentangkan telapak tangannya yang kiri dan ia berkata, ‘Dengan menggerakkan jari telunjuknya yang kanan’” (HR. Ibnu Adi dalam Kitab al Kaamil fidh Dhu’afa VI/267)

Ibnu Adi meriwayatkannya dari Ahmad bin Ja’far al Balkhi, dari Muhammad bin Umar al Bazzar, dari Syuraih bin an Nu’man dari Utsman bin Miqsam, dari ‘Alqamah bin Marsyad dari Zir bin Hubaisy dari Sa’id bin Abdurrahman dari ayahnya dari Umar bin al Khaththab.

Imam Ibnu Adi berkata tentang perawinya yang bernama Utsman bin Miqsam, “ …dan kesimpulannya (ia seorang perawi) yang lemah, akan tetapi bersamaan dengan kelemahan yang ada padanya, haditsnya boleh ditulis”, hal ini juga dikemukakan oleh Syaikh al Albani dalam Sifat Shalat Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam hal. 158-159.]

Hadits Waa-il bin Hujr di atas telah disahkan oleh banyak ulama, diantaranya :

  1. Imam Ibnu Khuzaimah, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh al Albani dalam Sifat Shalat Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam hal. 158.

  1. Imam Ibnu Hibban, juga sebagaimana disebutkan oleh Syaikh al Albani dalam Sifat Shalat Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam hal. 158.

  1. Imam an Nawawi dalam Kitab Majmu’ Syarhil Muhadzdzab III/454.

  1. Imam Ibnu ‘Abdil Bar telah mengisyaratkan tentang sahnya hadits ini dalam Kitabnya al Istidzkaar IV/262.

  1. Sebagaimana juga Imam al Qurthubi telah menukil pen-shahih-an Ibnu Abdil Bar di atas dalam Tafsir-nya, ketika menafsirkan surat al Baqarah ayat 43.

  1. Ibnul Mullaqqin dalam Khulashatu Badril Munir I/139 no. 646.

  1. al Hafizh al Baihaqi telah menshahihkan, sebagaimana yang dikatakan oleh al Khaththib asy Syarbini dalam Kitab Mughnil Muhtaj I/255

  1. Syaikhul Islam Ibnul Qayyim dalam Kitab Zaadul Ma’ad (I/239)

  1. Syaikh al Albani telah menshahihkannya dalam banyak kitabnya, diantaranya : Shifat Shalat Nabi hal. 158, Tamamul Minnah hal. 214, Shahih Sunan Abi Dawud no. 717, Shahih Sunan an Nasai dan Irwaa-ul Ghalil no. 352.
Sebagian besar ulama yang mendhaifkan hadits tersebut berpendapat bahwa tambahan lafazh ‘yuharrikuHaa bad’uubiHaa’ yaitu lafazh “tahrik” dari seorang perawi hadits Waa-il bin Hujr yaitu Zaa-idah bin Qudamah adalah syadz, karena menyelisihi lafazh “isyarat” dari perawi hadits yang lebih tsiqah.

Yang dimaksud hadits menggunakan lafazh isyarat adalah,

Aku melirik Nabi mengangkat kedua tangannya dalam shalat ketika takbir … dan meletakkan tangan kirinya di atas lutut kirinya dan lengan tangan kanan di atas paha tangan kanannya, lalu berisyarat dengan jari telunjuknya …” (HR. Ahmad IV/317, ath Thabrani 22/34/81 dan lainnya)

Mari kita lihat bantahan ilmiah dari para ulama yang mengatakan bahwa hadits Waa-il bin Hujr adalah sah berikut ini,

Syaikh al Albani berkata dalam mukadimah kitab beliau Tamamul Minnah tentang hadits syadz,

Hadits syadz adalah (hadits) yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah yang diterima (periwayatannya, akan tetapi) periwayatannya menyelisihi periwayatan perawi yang lebih utama darinya, sebagaimana yang dipegang oleh para ahlul hadits, dan Ibnu ash Shalah pun telah menerangkan hal itu.

Apabila seorang perawi menyendiri dalam suatu periwayatan, maka harus diperiksa, dan jika perawi yang menyendiri tersebut menyelisihi periwayatan perawi yang lebih utama darinya dari segi hafalan atau pun kedhabitannya maka apa yang diriwayatkannya itu syadz dan tertolak.

Namun apabila dalam (tambahan periwayatannya itu) tidak ada perselisihan dengan apa yang diriwayatkan oleh yang lain, hanya saja ia meriwayatkan sesuatu yang tidak diriwayatkan oleh yang lainnya, maka diperiksa keadaan perawi yang menyendiri ini, jika ia adalah seorang perawi yang adil, hafizh, terpercaya dalam kekokohan serta kedhabitannya maka diterima apa yang ia riwayatkan secara menyendiri tersebut

Setelah mengetahui definisi tentang hadits syadz di atas maka yang pertama harus dilakukan adalah memeriksa kondisi perawi hadits tersebut yang diperselisihkan oleh para ulama, dalam hal ini adalah Zaa-idah bin Qudamah. Berikut keterangan dua Imam hadits tentang Zaa-idah bin Qudamah,

  1. al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani dalam Taqribut Tahzib no. 1046 berkata, “(Zaa-idah bin Qudamah ini) tsiqatun tsabtun (yakni seorang perawi yang tsiqah lagi tsabit/kuat)”

  1. Imam Ibnu Hibban berkata dalam Kitab ats Tsiqat VI/239-240, “Ia (Zaa-idah bin Qudamah) termasuk dari imam yang mutqin, ia tidak menganggap suatu pendengaran, kecuali setelah mengulanginya sebanyak tiga kali dan ia tidak dan ia tidak memuji seorang pun kecuali mereka yang telah disaksikan keadilannya oleh seseorang (imam) dari Ahlus (Sunnah)”

Berkata Syaikh al Albani, “Oleh karena itu tidak mudah bagi kita untuk menganggap syadz riwayat yang disampaikan oleh Zaa-idah (bin Qudamah) ini, khususnya periwayatan yang ia terima dari gurunya ‘Ashim bin Kulaib dari bapaknya…

karena apabila kita menganggap syadz, maka niscaya akan banyak sekali riwayat – riwayat yang harus dihukumi seperti itu” (Dinukil dari kaset Imam al Albani yang berjudul Laa Qusyura fil Islam no. 167/8037 al Istiqamah)

Demikianlah pendapat para Imam hadits tentang Zaa-idah bin Qudamah, yang artinya adalah periwayatan hadits yang dilakukan olehnya dapat diterima.

Sekarang ke permasalahan yang kedua, yaitu apakah periwayatan yang dilakukan oleh Zaa-idah bin Qudamah menyelisihi periwayatan dari para perawi yang lebih tsiqah darinya !?

Jawabnya adalah tidak, sebab lafazh “tahrik” itu tidaklah bertentangan dengan lafazh “isyarat” jika ditinjau dari segi lughah maupun dalil.

Dari segi bahasa dapat difahami bahwa isyarat itu terkadang disertai dengan gerak dan terkadang tanpa disertai dengan gerak (jadi disini yang terjadi bukan pertentangan lafazh, tetapi hanya permasalahan lafazh umum dan lafazh khusus). Syaikh Al ash Sha’idi al ‘Adawi al Maliki dalam Kitab Hasyiyah al ‘Adawi ‘ala Syarbi Kifayatut Thalibur Rabbani I/356 berkata,

Bahwa lafazh isyarat itu lebih umum daripada lafazh tahrik, mungkin berisyarat dengan cara menggerakkan (atau) mungkin tidak”.

Dan apabila ditinjau dari segi dalil, maka ada suatu hadits yang menarik untuk dibahas yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallaHu ‘anHa tentang kisah shalatnya para shahabat di belakang Rasulullah dengan cara berdiri, padahal Rasulullah shalat sambil dalam keadaan duduk, maka beliau pun mengisyaratkan kepada mereka untuk duduk semua (HR. al Bukhari dan Muslim)

Setiap orang pasti dapat dengan cepat memahami dari lafazh hadits tersebut bahwasannya isyarat beliau tidak hanya dengan mengangkat tangan saja, akan tetapi isyarat tersebut juga mengandung gerakan untuk menyuruh para sahabat agar shalat dalam keadaan duduk.

Ringkasnya adalah isyarat tidak menafikan atau meniadakan tahrik, maka pernyataan bahwa isyarat itu bertentangan dengan tahrik adalah tidak benar jika ditinjau dari segi lughah dan dalil.

Dan akhirnya di dalam Kitab Tamamul Minnah Syaikh al Albani memberikan kesimpulannya, “Menolak otensitas gerakan telunjuk dalam riwayat terkucil dari Zaid bin Qudamah tanpa perawi – perawi ‘Ashim bin Kulaib yang lain adalah suatu kesalahan besar karena dua alasan, Pertama : Mereka meriwayatkan isyarat dan isyarat tidak bisa menafikan adanya gerakan jari, Kedua : Kejujuran Zaidah (bin Qudamah) dan karena sudah tua, ia sangat teliti dalam meriwayatkan hadits. Para imam sepakat memberikan kesaksian atas dapat dipercayainya dan al Bukhari – Muslim pun berhujjah dengannya”

Maraji’ :
  1. Menggerakan Jari Telunjuk Ketika Tasyahud, Ustadz Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa, Pustaka Abdullah, Jakarta, Cetakan Pertama, Rajab 1425 H/Agustus 2004 M.
  2. Terjemah Tamamul Minnah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabah Salafy Press, Tegal, Cetakan Pertama, Jumadits Tsani 1422 H/September 2001 M.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar